Tuesday, December 16, 2008

Cerpen! Baca!

Wanita dan Kamera

Oleh: Arie Setya Yudha

Halo semuanya, perkenalkan namaku Yudha. Aku adalah mahasiswa Fisipol UGM Jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2008. Yap, benar. Aku baru saja menjalankan tahun pertama di universitas ternama ini, sengaja bertolak dari kampung halamanku nan jauh disana demi menuntut ilmu ‘tuk bahagiakan hidupku nanti. Kayak lagu Sheila on 7. Seperti mahasiswa jurusan ilmu komunikasi lainnya, pada tahun pertama ini aku sangat tertarik kepada dunia fotografi – Aku ulangi, aku tergila-gila kepada apapun yang berbau fotografi, apakah itu berupa kamera mainan lomo, ataupun SLR layaknya fotografer profesional.

Di kampus, aku tidak sendiri. Aku memiliki seorang sahabat, Riza namanya. Dengan kepribadiannya yang lebih kreatif, bebas dan kurang suka terhadap keterikatan, dia lebih tergila-gila pada lomo dibanding jenis kamera lainnya. Sesuai dengan slogan lomo “don’t think, just shoot!” Lebih spesifik lagi, dia sangat mencintai kamera lomo fisheye­ miliknya berbagai macam eksperimen telah dilakukan bersama ‘mata-ikan’nya itu. Bahkan, ia pernah menulis sebuah artikel dan berhasil dimuat di salah satu media massa online, dengan tulisannya mengenai lomography.

Bagaikan kamera analog dan rol filmnya kami tidak pernah terpisah satu sama lain. Karena kami yang sama-sama ‘berlutut’ kepada fotografi, tanpa ragu akhirnya merasa klop satu sama lain. Kami sering melakukan kegiatan aneh ketika dikelas. Pernah suatu ketika kami sms-an di kelas padahal kami duduk bersebelahan. Ga penting banget kan?

*******

Suatu hari, aku ke kampus barengan sama Riza. Bagaikan terjadinya under-exposure pada kamera, langit mendung menyelimuti kampus. Riza memarkirkan motornya di tepian dekat pohon akasia, lalu aku turun dari motor, melepaskan helm, dan merapikan rambutku di kaca spion.

“Udah Yud, udah mirip anjing kurap kok rambut kamu tuh...” Kata Riza sambil merapikan rambutnya juga.

“Iya deh, iya, whatever... yok masuk! Om Budhy udah masuk neh jam segini! Ntar kita kena omel loh!” Kataku seraya meletakkan helm sambil bergegas menuju kelas.

Kami bergegas menuju kelas, melewati lapangan, menaiki tangga dan akhirnya sampai ke pintu kelas. Pelan-pelan aku membuka pintu sambil berharap om Budhy belum datang. Beuhh! tidak seperti yang diharapkan, ternyata sosok lelaki tinggi dengan topi khas ala Skotlandia sudah mulai memberikan kuliah. Karena pintu sudah terbuka, sudah terlambat untuk lari, ntar kalau mundur sekarang yang ada malah ada omelan ekstra.

Tidak perlu diragukan lagi, om Budhy mengomeli kami seakan membunuh waktu ketika kami memasuki kelas. Kami hanya menerima saja omongan om Budhy, hanya menunduk tanpa mendengarkan sama sekali omongannya. Seperti burung yang nyerocos, tiada diperhatikan, hanya dianggap angin lalu saja. Dosen yang satu ini memang berbeda, ia sangat memperhatikan keadaan mahasiswanya, membanting harga dirinya sebagai dosen dan terlihat sebagai guru SMA demi menasehati kami.

Setelah 5 menit diberikan mata kuliah ‘tambahan’, akhirnya kami berdua dipersilahkan duduk. Seperti biasa, kami berdua mengambil tempat bersebelahan di sudut bagian belakang, agar memudahkan kami ber-sms ria tanpa diperhatikan oleh dosen. Sambil mengambil handphone, aku meletakkan tas di sisi depan kursi dan aku memulai sms ke Riza.

“Za, om Budhy lama bener omelannya, Huuu. udah capek aku berdiri dari tadi didepan sana” Kataku di sms.

“Iya, ya gapapa lah, namanya juga dosen, maklum aja kale. Udah, kita ganti topik ajah. Kamu lihat ga mahasiswi yang duduk di sudut kanan itu? Beuhhh! Pahanya man! over-exposure!” Balas Riza sambil menahan tertawa agar tidak terdengar oleh dosen.

Spontan, aku langsung melihat ke sudut kanan. Mataku berubah bak lensa tele dengan auto-focus­, ketika melihat sosok mahasiswi berparas cantik menggunakan rok diatas lutut. “Huah! Sempurna!” Kataku didalam hati. Lalu akupun menuangkan pikiranku ini di sms.

“Yang pake rok pendek itu Za? wedew, enak bener, tinggal plug and play tuh!” Pembicaraan kami mulai menjurus agak ‘vulgar’, tetap, sambil menahan tertawaan kami agar tidak ketahuan dosen.

“Hahahaha, matamu Yud plug and play! kalau dilihat-lihat Yud, pasti diatas pahanya lagi lebih over tuh pencahayaannya.” Balas Riza.

clip_image002 “Iya! Ini mah D90 Za! bodi mulus, enak digenggam. Beuhh! ditambah battery grip Za! itu tuh, liat aja, di dadanya ada dua pelepas rana, siap untuk dipencet ketika kita sudah membidik dan memotret. Uwoooo! sangat seksi Za!” Kataku di sms seakan menghidupkan suasana.

“Eh, kamu tau ga? pasti lensa bawahnya make bukaan diafragma 22 tuh! masih sempit man! ntar kita lakukan sequence-shot dengan shutter-speed 1/2000! ‘plak...plek...plak...plek!’ ntar bunyinya. Loh, kamu kenapa lipat-lipat kaki gitu? udah ‘naik’ ya ‘adik’mu? Dijaga toh mas matanya! Hahahaha...” Kata Riza di sms yang membuat suasana sms kami semakin ‘hangat’.

“Waduh liat deh! dia menggeliat, merentangkan tangan! waw! bagaikan kamera SLR manual yang minta dikokang dari belakang Za!” Aku mengetik sms sambil melihat teman sekelasku yang cantik merenggangkan badan.

clip_image004clip_image006 “Haha, dasar kamu Yud! eh kalau si Arin itu kamera apa yah kira-kira Yud?” Katanya di sms.

“Kenapa? Kamu suka Za? Wah. Kalau aku ga suka yang seperti itu. Bayangin deh kalau kita memegang kamera Nikon D3 Pro. Terlalu besar untuk digenggam, beratnya ga nyaman. Masa sih setiap kita pengen ‘main’ harus bawa tripod? ga seru kan? Belum lagi rambutnya mirip colorsplash! Warna-warni gitu! Ga suka aku Za! Jadi, makanya aku lebih milih wanita yang proporsinya mirip kamera Nikon D80-an gitu. Hitam, elegan, dan seksi!” Aku menjelaskan kepada Riza melalui sms.

clip_image008 “Wah, ternyata selera kita berbeda Yud! Kalau aku milih wanita pasti deh mirip lomo fisheye-ku. Ga perlu banyak-banyak aturan dan style ‘memotret’ seperti kamera DSLR D80, harus mengatur diafragma dan speed. Repot Yud! Kalau fisheye ga perlu mikir! Kita bisa langsung ‘potret’!” Balas Riza tidak mau kalah.


*******

Kelas om Budhy usai, kami menghabiskan waktu tanpa mendapat sedikit ilmupun. Bagaimana bisa mendapat ilmu jika sepanjang kuliah kami hanya smsan?

Aku dan Riza menuju kantin untuk mengisi perut yang sudah berbunyi seperti kamera analog kehabisan baterai. “Kreeek...! Kreeek...!” Kira-kira begitulah bunyinya. Setelah membeli sepiring nasi goreng dan segelas jus anggur, aku dan Riza duduk di lantai selasar kantin yang menghadap ke lapangan besar kampus. Aku menyandarkan diri di tiang penyangga atap selasar, sementara Riza mengambil posisi berhadap-hadapan denganku berjarak sekitar setengah meter untuk meletakkan makanan kami masing-masing di lantai. Lalu Riza memulai pembicaraannya.

“Aku dengar kamu baru jadian Yud?” Katanya sambil menikmati suapan nasi perdananya.

“Iya...” Jawabku singkat lalu menyedot jus anggur yang ada disampingku.

“Waduh! Payah kamu yud, jadian ga pernah bilang sama aku. Dasar filter infrared kamu Yud. Katanya kamu anggap aku sahabat.” Kata Riza dengan nada agak tinggi.

“Bukan gitu Za, Cuma, aku takutnya ntar kalau aku ngasih tau dan menyebar, banyak yang minta traktiran. Kamu tahu kan duitku tidak banyak, maklum, anak kos.” Kataku.

“Sama siapa Yud? Setidaknya kenalinlah sama aku.” Kata Riza.

Baru saja Riza selesai berbicara, duduklah disampingku, membawa makanan juga, seorang wanita manis berkacamata yang tidak terlalu tinggi, dengan rambut ikal dan dikuncir kulit sawo matang. Ya, dialah pacarku yang dimaksud, mahasiswi dari fakultas yang sama denganku, kami baru saja jadian beberapa hari yang lalu. Kami memang sudah janjian setelah kuliahku usai, kami akan makan bareng dikantin. Spontan aku memperkenalkan pacarku kepada Riza.

“Perkenalkan Za, inilah pacar yang kumaksud, namanya Tiwi. Hehe, sudah terjawab kan pertanyaanmu barusan?” Kataku memperkenalkan

“Haha, panjang umur ini si Tiwi, baru aja dibicarakan. Perkenalkan namaku Riza.” Kata Riza sambil melepaskan sendok dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Tiwi...” Jawab pacarku singkat.

Kami makan bersama di selasar sekitar beberapa menit, namun menghabiskan waktu hingga sejam untuk mengobrol bersama. Sampai akhirnya memutuskan untuk pulang. Selayaknya orang berpacaran aku berpamitan kepada Tiwi dan berjalan menuju parkiran bersama Riza. Pulang barengan lagi. Sementara Tiwi sendiri juga pulang bersama sahabatnya. Di jalan menuju parkiran, Riza bertanya.

“Yud, katanya kamu suka wanita Nikon D80? Kok kamu milih Tiwi?” Tanyanya heran.

clip_image010“Memang Za, aku tahu. Dia tidak seksi, dia tidak seperti kamera D80 yang proporsional, enak digenggam, dan spesifikasinya lainnya yang menjadikan dia ‘cerdas’...” Jawabku sambil berhenti memberi jeda. Lalu dengan senyuman tipis aku melanjutkan.


“Tapi......”

“Dia tetap oktomat bagiku, manis, simpel, dan dapat dipercaya.”



4 comments:

Unknown said...

wah wah... anda akan berbahaya sekalai karena membuat blog hanya untuk daspen saja... hehehe.. apalagi tulisannya,hehe... itu bukan om budhy,tetapi cak budi.. ahaha...
oh ya... cerpennya kurang mengigit,, habisnya saya nggak bisa gigit blog kamu sih

Anonymous said...

ahahay..

Asik kali bung yudhi molay cerpennya!

I like the analogy. Mangstap!

Arie Setya Yudha said...

monitor
iya... emang seh harusnya cak budhy... tapi karena semua nama diubah dari nama asli... makanya cak budhy pun diubah menjadi om budhy... hehe...
@ombimasjogjaboy : beuhh.. thx om... btw panggilnya molay aja om.. hahaw... aku juga suka tulisan om yang tentang "anak-anak mencari duit di tong sampah..." kocak... huaha~

Anonymous said...

ohh... tar gmn ya Daspenmu ini...